Tenario's Gospel

Kamis, 24 April 2008

Le Scaphandre Et Le Papillon



















“Daripada elo nonton besok n mesti bayar 40.000, mendingan hari ini, lumayan tau beda 10.000. Nambah 5.000 lagi elo udah bisa nonton lagi di Djakarta Theater.” Argumen itulah yang membuat akhirnya gue dan temen kantor gue Dinda berangkat ke Blitz kemarin malem buat nonton, Dinda mau nonton Earth n gue mau nonton film Diving Bell and The Butterfly, film terbaik di Cannes 2007.

Ok, pertama yang mesti elo tau bahwa gue sama sekali bukan pecinta film-film art. Ngak tau kenapa, kayaknya semua panca indera gue itu ngak di built up sama Tuhan buat bisa menikmati film-film seperti itu. Bagi gue nonton itu adalah sarana hiburan, kadang-kadang juga sebagai sarana pengetahuan, memperluas cakrawala dan memperkaya vocabulary bahasa hehehehe n semua itu ngak bisa atau belum bisa tepatnya gue temuin di film-film art. Makanya pas kemaren gue mutusin buat nonton di bioskop sebuah film yang menang di Cannes, sebenernya gue agak was-was juga sih, tahan ngak ya gue hehehehehe.

Tapi untunglah gue memutuskan buat nonton di bioskop, kalo gue nontonnya di DVD dijamin baru 10 menit udah gue matiin kali hahahahaha. Tapi anehnya adalah if you survive the first 10 minutes, tiba-tiba aja gue ngerasa tersedot masuk ke alam pikiran dari Jean Dominique Bauby, tokoh utama di dalam cerita tersebut.

Jadi Jean Dominique Bauby adalah seorang editor untuk majalah fashion Elle, pada usia 42 tahun saat mengendarai mobil bersama anak lelakinya dia terserang stroke berat yang membuat seluruh tubuhnya lumpuh total kecuali mata sebelah kirinya. Film ini mengisahkan jatuh bangun yang dialaminya sampai dia berhasil menuntaskan menulis sebuah novel jurnal kehidupannya yang dia beri judul Diving Bell and The Butterfly.

Film ini mengalir secara linear dengan sedikit flashback, cenderung datar tanpa adanya klimaks atau anti klimaks. Tapi anehnya seakan kita enggak bisa buat memalingkan mata dari layar, berulang kali gue ngomong sama diri gue sendiri, “Ayo man, elo bisa keluar kapan aja dari ruangan bioskop ini.” Tapi hal tersebut ngak terjadi, gue duduk diam, mulai tenggelam dan akhirnya bisa menyelami dan merasakan empati sekaligus salut terhadap Jean Do. Sebuah karya film yang extraordinary dari sutradara Julian Schnabel. Bravo, encore, 4 stars for this beautiful story.

Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]



<< Beranda